Kumpulan Fatwa Ulama

Minggu, 29 April 2018

Meninggalkan Pekerjaan yang di Dalamnya Terdapat Maksiat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)

Meninggalkan Pekerjaan yang di Dalamnya Terdapat Maksiat (Fatwa Syaikh Ibnu Baz)

Pertanyaan:
Sebagian manusia tidak setuju keputusan sebagian orang yang meninggalkan pekerjaan yang di dalamnya terdapat perbuatan maksiat dan yang diharamkan, dan menuduh mereka tergesa-gesa, membinasakan diri sendiri, dan tidak mendapatkan pekerjaan, apakah rizki memang di tangan mereka?

Jawaban:

Semua rizki berada di tangan Allah سبحانه و تعالى. Bisa saja tindakannya meninggalkan maksiat menjadi penyebab datangnya rizki, karena firman Allah سبحانه و تعالى,

"Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezki dari arah yang tiada disangka-sangkanya."(Ath-Thalaq: 2-3).

Rizki dari Allah سبحانه و تعالى tidak akan bisa didapatkan karena kemaksiatan kecuali atas dasar istidraj(memperdaya/memberikan tempo). Apabila anda melihat seseorang yang diberikan Allah rizki yang melimpah kepadanya, sedangkan dia tetap melakukan maksiat, maka ini adalah istidraj dari Allah kepadanya, karena Allah سبحانه و تعالى berfirman dalam KitabNya,

"Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zhalim. Sesungguhnya adzabNya itu adalah sangat pedih lagi keras." (Hud: 102).

Nabi صلی الله عليه وسلم menjelaskan bahwa Allah سبحانه و تعالى memberikan tempo kepada orang yang zhalim, hingga apabila Allah سبحانه و تعالىmenurunkan adzabNya, Dia tidak akan melepaskannya. Lalu beliau membaca ayat ini,

"Dan begitulah adzab Rabbmu, apabila Dia mengadzab penduduk negeri-negeri yang berbuat zalim. Sesungguhnya adzabNya itu adalah sangat pedih lagi keras". ( Hud:102).

Adapun ucapan orang yang mengatakan bahwa ini adalah tindakan tergesa-gesa dan membinasakan diri sendiri, sebenarnya hal ini tidak bisa kita katakan tergesa-gesa atau tidak tergesa-gesa hingga kita melihat kondisi orang yang lari dari pekerjaan; apakah dia bisa tetap bekerja disertai sifat sabar atau tidak bisa sabar, sehingga terpaksa keluar dari pekerjaannya. Apabila ia bisa sabar dan mengharapkan pahala terhadap gangguan yang didapatnya, apalagi dalam perkara-perkara penting seperti seorang tentara misalnya, maka dia wajib untuk tetap bersabar. Dan jika itu tidak mungkin lalu dipaksa keluar, maka dosa atas orang yang mengeluarkannya.
Rujukan:
Fatawa Mu’ashirah, hal. 61 Syaikh Ibn Baz.